Beranda | Artikel
Hukum Menshalatkan Pelaku Bunuh Diri dalam Islam
Jumat, 27 Juni 2025

Hukum Menshalatkan Pelaku Bunuh Diri dalam Islam merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Mukhtashar Shahih Muslim yang disampaikan oleh Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Ahad, 26 Dzulhijjah 1446 H / 22 Juni 2025 M.

Kajian Hadits Tentang Hukum Menshalatkan Pelaku Bunuh Diri dalam Islam

Dari Jabir bin Samurah Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam didatangkan seorang laki-laki yang bunuh diri dengan anak panah, maka beliau tidak mau menshalatinya. (HR. Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa seorang imam, seorang ‘alim ulama, hendaknya tidak menshalatkan pelaku dosa besar. Namun, Tetap dishalatkan oleh kaum Muslimin lainnya.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah pernah ditanya tentang hukum menshalatkan orang yang bunuh diri. Beliau menjawab: “Orang yang bunuh diri tetap dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan di pemakaman kaum Muslimin. Karena bunuh diri itu bukanlah kekufuran, tetapi termasuk maksiat. Pelakunya tidak kafir, maka dia tetap diperlakukan sebagaimana jenazah Muslim lainnya. Akan tetapi, bagi pemimpin tertinggi atau orang-orang yang memiliki kedudukan, sebaiknya tidak ikut menshalatkannya sebagai bentuk pengingkaran atas perbuatan tersebut. Hal itu juga agar tidak disangka oleh masyarakat bahwa dia ridha terhadap perbuatan pelaku. Maka jika pemimpin atau qadhi tidak ikut menshalatkan sebagai peringatan dan penjelasan kepada masyarakat bahwa perbuatan ini adalah sebuah kesalahan, maka itu adalah suatu tindakan yang baik.”

Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits tersebut tidak menshalatkan pelaku bunuh diri. Hal ini bukan berarti orang yang bunuh diri tidak boleh dishalatkan sama sekali. Ia tetap dishalatkan, hanya saja yang menshalatkannya adalah kaum Muslimin lainnya.

Bab keutamaan shalat jenazah dan mengantar jenzah ke kuburannya

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ شَهِدَ الْجَنَازَةَ حَتَّى يُصَلَّى عَلَيْهَا فَلَهُ قِيرَاطٌ، وَمَنْ شَهِدَهَا حَتَّى تُدْفَنَ فَلَهُ قِيرَاطَانِ، قِيلَ: وَمَا الْقِيرَاطَانِ؟ قَالَ: مِثْلُ الْجَبَلَيْنِ الْعَظِيمَيْنِ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa menyaksikan jenazah hingga dishalatkan, maka baginya satu qirat. Dan barang siapa menyaksikan hingga dikuburkan, maka baginya dua qirat.” Lalu ditanyakan kepada Rasulullah, “Apakah dua qirat itu?” Beliau menjawab, “Seperti dua gunung besar.” (HR. Muslim)

Hadits di atas menunjukkan keutamaan besar bagi siapa saja yang menshalatkan dan mengiringi jenazah seorang Muslim. Jika seseorang hanya menshalatkan, lalu tidak ikut mengiringi hingga pemakaman, maka ia mendapatkan satu qirat. Namun jika ia menshalatkan dan mengiringi hingga dikuburkan, maka ia mendapatkan dua qirat (pahala seperti dua gunung besar). Namun, keutamaan ini khusus berlaku untuk jenazah Muslim saja. Adapun jenazah orang kafir tidak.

Bab siapa yang dishalatkan oleh 100 orang maka mendapat syafaat

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَا مِنْ مَيِّتٍ يُصَلِّي عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ، يَبْلُغُونَ مِائَةً، كُلُّهُمْ يَشْفَعُونَ لَهُ، إِلَّا شُفِّعُوا فِيهِ

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, dari Nabi  Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda: “Tidaklah mayat dishalatkan oleh kaum Muslimin yang berjumlah seratus orang semuanya memohonkan syafaat untuknya (mendoakan agar diampuni dan dirahmati), kecuali akan diterima syafaat untuk jenazah tersebut.” (HR. Muslim)

Hadits berikutnya:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا: أَنَّهُ مَاتَ لَهُ ابْنٌ بِقُدَيْدٍ – أَوْ بِعُسْفَانَ – فَقَالَ: يَا كُرَيْبُ، انْظُرْ مَا اجْتَمَعَ لَهُ مِنَ النَّاسِ، قَالَ: فَخَرَجْتُ، فَإِذَا نَاسٌ قَدِ اجْتَمَعُوا لَهُ، فَأَخْبَرْتُهُ، فَقَالَ: تَقُولُ هُمْ أَرْبَعُونَ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: أَخْرِجُوهُ، فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ يَقُولُ: مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوتُ، فَيَقُومُ عَلَى جَنَازَتِهِ أَرْبَعُونَ رَجُلًا، لَا يُشْرِكُونَ بِاللهِ شَيْئًا، إِلَّا شَفَّعَهُمُ اللهُ فِيهِ

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhu, bahwa anaknya wafat di Qudayd atau ‘Usfan, lalu ia berkata: “Wahai Kuraib, lihatlah berapa orang yang berkumpul untuk menshalatkannya.” Kuraib berkata, “Maka aku keluar, dan ternyata telah berkumpul orang-orang untuknya. Lalu aku memberitahukannya.” Ibnu Abbas bertanya, “Apakah mereka berjumlah empat puluh?” Aku menjawab, “Ya.” Maka Ibnu Abbas berkata, “Keluarkanlah jenazahnya (untuk dishalatkan). Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah  Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Tidaklah seorang Muslim meninggal dunia, lalu dishalatkan jenazahnya empat puluh orang laki-laki yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun, kecuali Allah akan menerima syafaat mereka (untuk jenazah tersebut).” (HR. Muslim)

Terdapat perbedaan jumlah dalam hadits mengenai jumlah orang yang menyalatkan jenazah. Satu riwayat menyebutkan 100 orang, sedangkan riwayat lain menyebutkan 40 orang.

Para ulama menjelaskan bahwa perbedaan jumlah ini disebabkan oleh perbedaan penanya. Dalam satu hadits, seseorang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Ya Rasulullah, bagaimana jika jenazah disalatkan oleh seratus orang?” Dalam riwayat lain, yang bertanya menyebutkan empat puluh orang. Artinya, jumlah empat puluh pun sudah diterima syafaatnya.

Bahkan, kata para ulama, kalau ada yang menshalatkan hanya seorang Muslim yang tidak mempersekutukan Allah akan tetap diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Bagaimana jika jumlahnya empat puluh? Bagaimana jika sampai seratus orang? Semua ini menunjukkan keutamaan bagi jenazah yang dishalatkan oleh banyak orang.

Oleh karena itu, tidak mengapa mengumumkan kematian seorang Muslim kepada masyarakat, agar banyak yang ikut menshalatkannya asalkan dilakukan dengan cara yang tidak bertentangan dengan syariat. Misalnya, tidak dengan teriakan-teriakan atau pengumuman yang menyerupai kebiasaan orang-orang musyrik zaman dahulu, maka tidak boleh demikian.

Bab mayat yang dipuji dengan kebaikan atau dicela dengan keburukan

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: “Suatu hari lewatlah jenazah, lalu para sahabat memuji jenazah tersebut, maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Wajib (baginya surga), wajib, wajib.” Kemudian lewat jenazah lain, lalu para sahabat mencela jenazah tersebut, maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Wajib (baginya neraka), wajib, wajib.” Lalu Umar berkata: “Ayah dan ibuku sebagai tebusanmu wahai Rasulullah, engkau berkata ‘wajib, wajib, wajib’ saat dipuji jenazah tersebut, dan engkau juga berkata ‘wajib, wajib, wajib’ saat jenazah yang lain dicela?” Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang kalian puji dengan kebaikan, maka wajib baginya surga. Dan barangsiapa yang kalian cela, maka wajib baginya neraka. Kalian adalah saksi-saksi Allah di muka bumi. Kalian adalah saksi-saksi Allah di muka bumi. Kalian adalah saksi-saksi Allah di muka bumi.” (HR Muslim)

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani Rahimahullah dalam Fath al-Bari menjelaskan bahwa: “Yang dimaksud dengan kesaksian yang diterima di sisi Allah adalah kesaksian dari orang-orang yang bertakwa, yaitu mereka yang tidak suka berdusta.”

Adapun persaksian orang yang berdusta maka tidak diterima persaksiannya oleh Allah. apalagi jika seseorang yang bersaksi tidak tahu kehidupan si mayit, maka persaksiannya tidak diterima. Kesaksian yang diterima oleh Allah Subḥanahu wa Ta‘ala adalah kesaksian yang jujur dan berdasarkan pengetahuan nyata dari orang yang bersaksi. Jika seseorang mengetahui bahwa si mayit semasa hidupnya adalah orang yang  bersungguh-sungguh dalam ketaatan maka kesaksian itu yang diterima di sisi Allah.

Bagaimana penjelasan lengkapnya? Mari download dan simak mp3 kajian yang penuh manfaat ini.

Download mp3 Kajian


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/55261-hukum-menshalatkan-pelaku-bunuh-diri-dalam-islam/